Prosesi Budaya Manusuk Sima Warnai Peringatan Hari Jadi Nganjuk ke-1085
Nganjuk, megapos.co.id – Peringatan Hari Jadi Nganjuk ke – 1085 tahun ini berbeda dari peringatan tahun-tahun sebelumnya. Sebab, tahun ini, diwarnai dengan prosesi budaya manusuk sima di situs Candilor, Kecamatan Loceret.
Sukadi, Humas Komunitas Pecinta Sejarah Nganjuk (Kotasejuk) mengatakan, alegoris boyong tidak memiliki hubungan kesejarahan dengan hari jadi Nganjuk yang memang situs aslinya berada di kompleks Candilor.
“Hari Jadi Nganjuk bersumber pada Prasasti Anjukladang, 10 April 937 tahun yang lalu, sedangkan Boyong Pemerintah Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk bersumber pada SK Belanda, tanggal 6 Juni 1880 yang lalu,” ungkapnya usai acara prosesi budaya Manusuk Sima di Candilor, Minggu (10/4/2022).
Seperti prosesi budaya Manusuk Sima yang dilaksanakan di Candilor ini, kata Sukadi, merupakan upacara penetapan sima yang pernah dilakukan rakyat kakatikan anjukladang 1085 tahun yang lalu. Dimana, rakyat Anjukladang mengundang sejumlah pejabat dari Kerajaan Mataram Medang bersama rajanya.
“Mereka turut menjadi saksi prosesi penetapan sima bersama kepala desa tetangga dan rakyat anjukladang sendiri,” imbuhnya.
Sukadi menjelaskan, prosesi budaya manusuk sima diawali dari arak-arakan yang menggambarkan kebersamaan antara Raja Mataram Pu Sindok, pejabat kerajaan dengan rakyat Anjukladang. Mereka berjalan menuju bangsal witana di Candi Sri Jayamerta atau Candilor.
“Arak-arakan dipimpin oleh Makudur atau pemimpin upacara sambil membawa dupa. Sang Makudur didampingi oleh Widhihti, yaitu asisten makudur berjalan perlahan,” terangnya.
Lalu, diikuti Pu Sindok dan 2 istrinya, Dyah Kebi dan Dyah Mangibil, dua Mahamantri yaitu Pu Sahasra dan Pu Baliswara, Kanuruhan Pu Da, Samgat Anjukladang didampingi mpu Mahaguru dan mpu Ghoksanda.
“Menyusul para prajurit Medang, Jatu Ireng, Susuhan, Sahitya, Kunda, Buyut Manggali, Madhura Lokaranjana, kemudian beberapa prajurit Anjukladang dan beberapa kepala desa tetangga,” tandasnya.
Sampai di depan pintu gerbang sang hyang prasada sri jayamerta, lanjut Sukadi, mereka disambut sebuah tarian kehormatan, yaitu tari maheswara. Dilanjutkan pemberian hadiah atau pasak-pasak kepada semua yang hadir, sebagai saksi dalam upacara penetapan sima Anjukladang.
“Pemberian hadiah diberikan oleh Sang Kepala Sima bernama Samgat Pu Anjukladang, kepada Raja Mataram Medang Pu Sindok,” urainya.
Kemudian, menurut Sukadi, berurut-turut hadiah diberikan kepada Pu Sahasra dan pu Baliswara, Kanuruhan Pu Da, mpu Mahaguru dan mpu Ghoksanda, kepala desa tepis wiring, serta seluruh undangan yang hadir turut menjadi saksi upacara penetapan sima Anjukladang.
“Selesai mengikuti jalannya pemberian hadiah, mereka berjalan menuju bangsal witana. Sang makudur dan wadihati menuju bawah bangsal witana, sedangkan para pengiring berdiri mengelilingi bangsal witana,” urainya.
Ketika semua saksi penetapan sima sudah siap mengikuti jalannya upacara, lanjut Sukadi, mulailah sang makudur memimpin jalannya upacara. Upacara Manusuk sima dimulai dengan menyembelih kepala ayam berlandaskan kulumpang, membantingkan telur pada batu sima, serta menebar debu ke angkasa, sambil mengucapkan kutukan.
“Maknanya adalah apapun yang sudah ditetapkan oleh sang raja tidak dapat terulang kembali. Dan kepada siapa saja yang melanggar sumpah yang telah ditetapkan, maka mereka akan mendapat karmanya,” kata Sukadi.
Terakhir adalah prosesi makam dan minum. Masyarakat Anjukladang yang turut menjadi saksi Manusuk Sima bersenang-senang untuk merayakan penerimaan hadiah tanah swatantra dari raja Sindok dengan berbagai hiburan.
“Dalam prasasti, disebutkan makanan berupa nasi buceng yang dilengkapi dengan kulupan yang seperti sekarang ini biasa dilakukan oleh masyarakat Nganjuk saat selamatan,” tambahnya.
“Sedangkan hiburan-hiburan namanya widu manidung atau mungkin disebut seni tayub. Karena, dijelaskan satu penari wanita dikelilingi para pengibing. Dan yang turut menari diawali dari pejabat yang paling tinggi, mungkin raja Sindok juga ikut ngibing,” pungkas Sukadi.
Editor : Jumiati